Ketidakpahaman, Picu Paradigma Buruk tentang Islam

Ketidakpahaman, Picu Paradigma Buruk tentang Islam

Ketidakpahaman, Picu Paradigma Buruk tentang Islam

Suaramuslim.netStereotype serta label buruk yang sengaja ditempelkan orang-orang yang tidak menyukai Islam, sangat berpengaruh pada paradigma masyarakat terhadap Islam. Ketidakpahaman tentang Islam, menjadi pemicu stereotype buruk tentang Islam.

Gelar fundamentalis, ekstrimis, garis keras sampai pada teroris kerap dilekatkan dengan muslim yang taat terhadap agamanya.  Tak berhenti di situ, kini gelar itu ditambah dengan anti NKRI, anti kebhinekaan dan tidak toleran, hanya karena berbeda pendapat atau berbeda pilihan politik.

Apalagi, konflik yang terjadi pada negara-negara mayoritas muslim di Timur Tengah dan belahan dunia lainnya yang kian memanas dari hari ke hari ini. Hal ini membuat Islam semakin dipertanyakan sebagai agama cinta damai. Lagi-lagi, kata ‘terorisme’, lagi-lagi didakwakan dalam citra Islam.

Fitnah Akhir Zaman

Sejarah kejayaan umat Islam di masa lalu sepertinya akan menyisakan kepedihan yang tak terelakkan di setiap hati kaum muslimin. Islam pada masanya terdahulu mampu menyebar luas dan diterima oleh masyarakat karena Islam adalah agama kasih sayang dan cinta damai.

Namun, seiring dengan perkembangan media, opini masyarakat dunia digiring untuk melebeli Islam sebagai agama intoleran dengan berbagai fitnahan yang diolah sedemikian rupa, sehingga terkesan riil dan memunculkan paradigma buruk bagi Islam di mata dunia.

Amin Abdullah, penulis buku Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? mengatakan dalam bukunya bahwa modernisasi dengan segala kemajuannya akan mempunyai dampak sangat buruk, jika masyarakat Muslim yang belum betul-betul siap dengan segala perangkatnya.

Fitnah kepada umat Islam, juga diwarnai dengan penghinaan dan fitnah dilakukan terhadap para ulama, da’i, dan da’iyah. Pola seperti itu, sebenarnya mirip dengan pola fitnah di zaman para ulama dulu.

Dalam lintasan sejarah, Imam Syafi’i dituduh sebagai paranormal. Imam Thabari dituding Syiah, dan Imam Syathibi dituding sebagai Rafidhah. Lebih lanjut, Abu Atahiyah dituduh zindiq. Abu Umar Ath-Thalamanki dituding Khawarij. Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim dan ulama lainnya juga berulangkali panen fitnah, hingga berlanjut di era terkini.

Propaganda terhadap Islam

Cara lain untuk membentuk paradigma masyarakat terhadap Islam yaitu dengan mendiskreditkan para ulama. Berbagai fitnah pun dilemparkan ke ruang publik. Tidak hanya memfitnah, namun pembenci Islam telah membuat tandingan ulama. Mereka memunculkan dan membranding ulama baru dengan fatwa-fatwa yang menjerumuskan dan menyimpang dari syariat. Berupaya membuat kaum muslimin bingung, ulama manakah yang harusnya diterima dakwahnya.

Jauh sebelum era modernisasi, propaganda ini telah disampaikan Imam Syafii, “Nanti di akhir jaman akan banyak ulama yang membingungkan umat, sehingga umat bingung memilih mana ulama warosatul anbiya dan mana ulama suu yang menyesatkan umat.” Maka Imam Syafii mengatakan, “Carilah ulama yang paling dibenci oleh orang-orang kafir dan orang munafik, dan jadikanlah ia sebagai ulama yang membimbingmu, dan jauhilah ulama yang dekat dengan orang kafir dan munafik karena ia akan menyesatkanmu, menjauhimu dari keridhaan Allah.”

Kesalahpahaman tentang Islam

Mengutip republika online, sekretaris Asosiasi Muslim Barbados, Pulau Barbados yang hanya berjarak 2.585 km dari wilayah Amerika Serikat (AS), Suleiman Bulbulia mengatakan bahwa sebenarnya masih ada kesalahpahaman di kalangan masyarakat Barbados dalam mengartikan Islam. “Misalnya, masih banyak yang menyangka bahwa Islam adalah agama orang India. Padahal, Islam di India adalah agama minoritas,” katanya.

Banyak juga orang Bajan yang salah paham tentang kedudukan Yesus dan peran wanita dalam Islam. “Yesus di Islam adalah nabi dengan posisi yang tinggi,” ujar Bulbulia.

Ditegaskannya, perempuan memiliki peran penting. “Sebagai ibu dari anak-anaknya. Istri dari suaminya, dan dia adalah pemimpin dalam keluarganya karena dia yang membesarkan dan menjadi guru pertama bagi anak-anaknya,” katanya. Jadi, peran perempuan dalam Islam sama sekali tidak inferior. “Maka, saat memilih menjadi Islam, bukan berarti dia adalah perempuan yang tidak intelek,” jelas Bulbulia panjang lebar.

Kontributor: Khoirun Nisa
Editor: Muhammad Nashir

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment