Ketika Kesantunan Sirna dan Keadaban Mengering

Ketika Kesantunan Sirna dan Keadaban Mengering

Ketika Kesantunan Sirna dan Keadaban Mengering

Suaramuslim.net – Saya selalu memulai dalam proses belajar yang saya lakukan bersama mahasiswa dengan pertanyaan mengapa Anda harus kuliah?

Pertanyaan saya ini sebetulnya tidak harus dijawab oleh mahasiswa, bagi saya hanya sebagai penekanan pembuka dalam proses belajar, agar mereka merespon dengan jawaban apapun atas pertanyaan saya.

Seringkali orang mengalami kegagalan dalam mengkomunikasikan apa yang dia maksud.

Seringkali antara komunikan dan komunikator tidak sama dalam memahami pesan yang disampaikan, sehingga ada banyak hal yang bisa menyebabkan gagalnya sebuah komunikasi.

Apa Saja yang Menyebabkan Gagalnya Komunikasi?

Dalam banyak kejadian komunikasi, hambatan yang sering terjadi biasanya disebabkan oleh diantaranya: faktor emosional, kultural dan sosial.

Misalkan kita tidak bisa bergurau dengan orang yang perasaannya lagi tidak enak.

Faktor kultural misalkan kalau Anda “misuh” maka bagi mereka yang berkebudayaan Jawa halus, ucapan itu dianggap sebagai ucapan yang tak sopan.

Sedangkan faktor sosial diantaranya misalkan kita mengucapkan kalimat yang menyinggung perasaannya maka akan jadi masalah, misalkan “ancene koen iku mlarat”.

Selain faktor-faktor di atas, hambatan komunikasi adalah ketidakmampuan kita menggunakan bahasa yang dipahami oleh lawan bicara kita.

Ini yang sering disebut kita selalu menggunakan diksi yang hanya kita pahami, sementara orang lain belum tentu memahami.

Hal lain yang bisa menjadi penghambat adalah stigma kepada pembicara yang tidak dipercaya, juga akan menjadi penghambat terjadinya komunikasi.

Komunikasi Menjadi Ukuran Penting tentang Perilaku Seseorang

Kegagalan komunikasi juga menyebabkan akan hilangnya keadaban dan kesantunan. Sebagai contoh ketika kita sudah tidak percaya terhadap lawan bicara kita, sebaik apapun yang diucapkan maka kita akan anggap sesuatu yang tidak baik.

Anggapan tidak baik itu akan membimbing kita pada perilaku yang di luar keadaban dan kesantunan, kita bisa mencela ataupun menghina.

Dalam banyak peristiwa kejadian itu bisa kita saksikan, misalkan murid yang sudah tidak nyaman dengan gurunya, sebaik apapun nasihat gurunya, maka akan dianggap tidak baik. Peristiwa Sampang meninggalnya guru Budi di tangan muridnya adalah sebuah contoh.

Kejadian yang baru kemarin terjadi, di tengah gencarnya kampanye hidup yang berbudaya, saling menghargai dan menghormati tiba-tiba kita dengar penembakan yang dilakukan oleh seseorang terhadap mobil pejabat pemkot Surabaya.

Saya kira ini sebuah perobekan terhadap budaya tertib dan menghormati hukum. Demokrasi kita terkoyak. Akibat perasaan kita yang tak mampu mengendalikan diri dan menuruti kemauan emosional.

Di tengah tengah keringnya nilai keadaban dan tandusnya perilaku kesantunan, sudah saatnya melakukan rekonsiliasi perilaku yang bersumber pada nilai-nilai keadaban. Menghidupkan kembali budaya menghargai dan menghormati adalah kebutuhan.

Di balik perilaku menghormati dan menghargai itu terkandung makna bahwa kita butuh orang lain, ada kelebihan dan kekurangan pada diri kita dan orang lain, sehingga kita bisa saling melengkapi.

Rumah dan sekolah adalah dua tempat suci membangun keadaban dan kesantunan. Persoalannya mampukah kita sebagai orang tua maupun guru, mensucikan rumah dan sekolah dengan nilai-nilai dan tauladan kesantunan dan keadaban. Pembiasaan di rumah dan di sekolah haruslah dilakukan.

Dari Mana Kita Memulainya?

Sebagai tempat pembiasaan, rumah dan sekolah harus diciptakan atmosfer yang mendukung terjadinya pembiasaan. Pavlov menyebutnya sebagai “conditioning”, menurut teori Pavlov bahwa manusia kalau dibiasakan dengan mekanisme dibangun, maka manusia secara otomatis akan melakukan sesuai dengan sistem yang dibangun.

Selain itu manusia harus dipandang sebagai mahluk yang mempunyai kebutuhan. Sehingga pembiasan itu akan mudah dilaksanakan kalau melibatkan apa yang menjadi kebutuhan manusia.

“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, kecuali hanya untuk beribadah kepada-Ku”

Konsep ibadah harus dipandang sebagai proses pembiasaan menuju keadaban dan kesantunan. Sehingga membangun kesadaran manusia akan pentingnya menginternalisasi nilai-nilai Ketuhanan, menjadi sebuah keharusan.

Nah kawan… Siapapun kita, baik sebagai guru dan orang tua, mari kita memulai dengan memahami bahwa apa yang kita kerjakan adalah pengejawantahan dari konsep ketuhanan kita.

Konsep ketuhanan lalu kita terjemahkan dalam bahasa program yang sederhana dan dapat diukur perubahannya. Mulailah dari hal yang paling mudah dan bisa, serta murah tanpa harus membutuhkan biaya yang memberatkan. Semoga Manfaat..! (Ditulis di Surabaya, 16 Maret 2018)

Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment