Suaramuslim.net – Akhir-akhir ini banyak masyarakat yang alergi dengan istilah “Khilafah Islamiyah”. Tahukah kita bagaimana sebenarnya khilafah Islamiyah itu? Berikut ini penjelasannya.
Khilafah berasal dari kata “kha-la-fa”, artinya menggantikan. Definisi khilafah sendiri merupakan preposisi dari kata khalifah. Kata khalifah diambil berdasarkan surat Al-Baqarah ayat 20, “Dan tuhanmu berkata kepada malaikat, sesungguhnya aku menjadikan diatas bumi ini seorang khalifah.”
Dalam sejarahnya, khalifah merupakan suatu gelar yang diberikan untuk pemimpin umat Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad yaitu dengan julukan “Khulafaur Rasyidin” atau “ Amir al-Mu’minin”. Berdasarkan julukan ini pula nama khalifah itu diambil. Jadi, khalifah itu sendiri merujuk kepada orang yang memerintah atau menggantikan kedudukan Nabi Muhammad. Sedangkan khilafah merujuk pada sistem kepemimpinan umat, dengan menggunakan Islam sebagai Ideologi serta undang-undangnya mengacu kepada Al-Quran, Hadits, Ijma dan Qiyas.
Dalam Al Quran sendiri sejatinya tidak disebutkan secara eksplisit bagaimana sistem pemerintahan Negara itu. Tetapi dalam Al-Quran hanya menyuruh umat Muslim untuk mentaati atau berhukum dengan hukum Allah baik untuk diri sendiri, dalam berkeluarga, maupun dalam berbangsa dan bernegara.
Sistem kekhalifahan adalah sistem yang diterapkan di era awal-awal berkembangnya agama Islam. Dalam sejarahnya, pasca wafatnya Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat membai’at Abu bakar untuk menjadi khalifah. Kemudian Abu Bakar wafat para sahabat membai’at Umar bin Khattab. Kemudian Umar bin Khattab meninggal, para sahabat membai’at Utsman bin Affan.
Kemudian Utsman bin Affan meninggal, para sahabat membai’at Ali bin Abi Thalib. Kemudian sistem seperti ini berubah pada rezim khilafah Umayyah dan Abbasiyyah, dimana setelah sang khalifah wafat, digantikan oleh anaknya. Sistem ini sangat mirip dengan sistem kerajaan pada zaman sekarang. Tetapi yang membedakannya dengan sistem kerajaan ialah kekuasaan khalifah tidak mutlak (absolut), sedangkan kekuasaan raja merupakan kekuasaan mutlak layaknya kekuasaan tuhan di bumi.
Pasca penjajahan Barat atas dunia Muslim, diperkenalkanlah sistem demokrasi. “ala” Barat. Sistem ini mengusung jargon “Vox Populi, Vox Dei” (suara rakyat merupakan suara tuhan), suatu sistem yang popular di zaman Yunani-Romawi kuno atau dengan kata lain dari rakyat dan untuk rakyat. Bahwasanya rakyat adalah pemegang kekuasaan mutlak.
Di Eropa, khususnya pasca revolusi Perancis, bangsa Eropa mulai melakukan perombakan dan perubahan sistem pemerintahan yang dahulu mereka hidup di bawah sistem teokrasi (kekuasaan gereja). Perubahan tersebut adalah dengan mulainya mereka mengekstraksi sistem demokrasi. Maksudnya ialah rakyat memilih dewan perwakilan untuk mewakilinya di dalam menentukan hukum dan pembuatan undang-undang/legislasi. Sehingga para pendeta tidak memiliki kekuasaan di dalamnya. Pada akhirnya, sistem seperti ini melahirkan “sekularisme” dimana agama haruslah dipisahkan dari urusan rakyat.
Hal seperti inilah intinya yang ditentang keras oleh Islam. Karena dalam Syari’at Islam, umat Muslim dituntut untuk mengembalikan segala sesuatunya kepada hukum Allah sebagaimana Allah berfirman dalam surat Al-An’am ayat 57 bahwasanya menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.
Sedangkan dalam aqidah Islam keuasaan mutlak hanya dimiliki oleh Allah subhanahu wa ta’ala bukan oleh rakyat. Karena itulah segala sesuatunya ditetapkan oleh rakyat. Di samping itu, Allah subhanahu wa ta’ala telah memerintahkan Rasulullah untuk mengatur urusan kaum muslimin berdasarkan hukum-hukum yang diturunkan Allah. Hal itu ada dalam surat Al-Ma’idah ayat 48, “Maka putuskanlah perkara di antara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka (dengan) meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.”
Kemiripan antara Sistem Demokrasi dengan Sistem Khilafah
Ada beberapa hal yang menyerupai antara sistem khalifah dengan demokrasi walaupun secara prinsipil berbeda yaitu musyawarah mufakat. Dalam sistem khilafah, musyawarah mufakat dilakukan oleh para alim ulama serta mekanisme pengangkatannya dilakukan dengan cara bai’at yang merupakan perjanjian setia antara Khalifah dengan ummat.
Dalam sistem demokrasi, musyawarah mufakat dilakukan dengan pemilihan langsung (pemilu), serta mekanisme pengangkatannya dilakukan oleh majelis konstitusi. Termasuk sistem demokrasi pula, berserikat.
Maksudnya adanya serikat dalam politik (partai) dan koalisi dimana semua partai berada dalam satu sistem yang menyeluruh dan menyatu. Sementara dalam sistem khilafah tidak ada koalisi dan serikat. Inilah di antara beberapa persamaan dan perbedaannya.
Kontributor: Abby Fadhilah Yahya
Editor: Muhammad Nashir