Suaramuslim.net – Kasus pelarangan cadar yang beberapa hari lalu mencuat di Universitas UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, menuai polemik yang berbuntut panjang. Kampus yang seharusnya mengakomodasi kebebasan berpikir, justru membuat nalar terjungkir. Bahkan, lebih menampakkan wajah kampus yang otoriter.
Betapa tidak, pelarangan ini mengingatkan memori publik pada masa orde baru yang begitu represif terhadap simbol dan identitas keislaman, seperti: persoalan jilbab. Dalam buku “Menguak Misteri Kekuasaan Soeharto” (2007: 141), Baskara menulis bahwa melalui Peraturan Pemerintah No. 052/C/Kep/D. 82, pada 17 Maret 1982 rezim Orde Baru resmi memberlakukan pelarangan jilbab di sekolah-sekolah umum.
Pada waktu itu, pelarangan tersebut mendapat perlawanan keras dari berbagai ulama dan tokoh Islam, sehingga lambat laun, Soeharto pun tak mampu melarangnya dan harus merevisi peraturan yang tidak ramah umat Islam ini.
Sementara itu, pelarangan cadar di kampus UIN Sunan Kalijaga ini justru melahirkan paradoks di tengah negara yang menjadikan Pancasila dan Demokrasi sebagai ideologi. Terlebih, kampus ini berafiliasi pada Islam.
Dalam Pancasila misalnya, sila yang berbunyi: Ketuhanan Yang Maha Esa, mengandung jaminan bahwa penduduk Indonesia –utamanya yang mayoritas umat Islam- bebas meyakini kepercayaannya. Di samping itu, menurut UUD 1945 Pasal 28 E, ayat pertama dan kedua berbunyi:
“(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.
(2) Setiap orang berhak atas kebebasan menyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya. Maka, pelarangan cadar ini bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.”
Lebih dari itu, dipandang dari sudut demokrasi, kebebasan berpendapat sangat dihargai. Aim Abdulkarim dalam buku “Pendidikan Kewarganegaraan Membangun Warga Negara yang Demokratis” (2007: 139) mencatat, “Kebebasan berbicara atau mengemukakan pendapat harus ada dalam suatu demokrasi. Jika rakyat sudah tidak boleh berbicara sesuai dengan keyakinannya, sudah tidak ada lagi demokrasi.” Karenanya, pelarangan cadar ini juga bertentangan dengan asas demokrasi.
Dalam diskursus keilmuan hukum Islam pun, masalah cadar masuk dalam kategori ‘khilafiyah furu’iyah’ (perbedaan parsial dalam cabang keislaman) yang menuntut toleransi tinggi bagi yang pro maupun kontra. Maka terasa kurang tepat jika ada keputusan pelarangan cadar ini. Seharusnya perbedaan ‘furu’iyah’ disikapi dengan toleransi, malah dihadapi dengan sikap tirani.
Menarik untuk diangkat di sini, terkait masalah cadar dalam paradigma Islam, website islamstory.com (24/05/2011) yang diasuh oleh Prof. Dr. Raghib As-Sirjani (Sejarawan Muslim Mesir) pernah mengangkat tajuk “Lajnah al-Fatwa bi al-Azhar: al-Niqâb min al-Islâm walaisa ‘Âdah Makrûhah” (Komisi Fatwa Al-Azhar: Cadar adalah Bagian dari Islam dan bukan Tradisi yang Dimakruhkan).
Komisi Fatwa Al-Azhar Mesir yang diakui kredibilitasnya di dunia, dengan menggunakan pendapat-pendapat ulama fikih dan ulama yang berafiliasai pada imam empat madzhab menandaskan bahwa ‘niqab’ (cadar) adalah bagian dari Islam, minimal bukan tradisi yang dimakruhkan atau bid’ah yang munkar.
Dari sudut pandang Pancasila, Demokrasi, dan Islam tersebut sudah jelas bahwa masalah cadar adalah bagian kepercayaan yang harus dihormati dan dihargai. Menggunakan alasan kekhawatiran menggeliatnya aliran radikal masuk ke dalam kampus akibat pemakaian cadar adalah sangat berlebihan dan terlalu digeneralisir. Mari bersama berlapang dada, mengedepankan dialog, berendah hati, dan toleran terhadap perbedaan. Apalagi Universitas yang Berafiliasi pada Islam, seyogianya membuat nuansa yang sejuk dan tentram.
Oleh: Mahmud Budi Setiawan, Lc*
Editor: Oki Aryono
*Tim Konten Pimpinan AQL Islamic Center Ustadz Bachtiar Nasir dan Alumnus Univ. Al Azhar Mesir