Inilah Akulturasi Budaya Jawa dengan Islam

Inilah Akulturasi Budaya Jawa dengan Islam

Inilah Akulturasi Budaya Jawa dengan Islam

Suaramuslim.net – Penyebaran agama Islam di tanah Jawa tak lepas dari pengaruh akulturasi budaya, khususnya dengan budaya lokal. Akulturasi ini merupakan manifestasi dari pengaruh peradaban dan budaya yang begitu mendominasi masyarakat Jawa pada saat itu. Seperti apa bentuk akulturasi tersebut? Mari kita cermati lebih dalam.

Masyarakat Jawa sendiri merupakan masyarakat yang sudah memiliki bermacam-macam budaya yang bahkan berkembang sebelum kedatangan Islam. Pasca Islam masuk, tidak serta merta menggeser keberadaan budaya lokal. Ajaran Islam yang ditanamkan melalui perangkat budaya ini, mau-tak mau, menyisakan warisan agama lama dan kepercayaan yang ada, yang tumbuh subur di masyarakat pada waktu itu, untuk dilestarikan kemudian dibersihkan dari anasir syirik. Pembersihan anasir syirik ini merupakan satu upaya untuk meneguhkan konsep monoteisme (tauhid) dalam ajaran Islam.

Bisa dikatakan bahwa proses pengislaman budaya Nusantara oleh para ulama terdahulu dibarengi dengan proses penusantaraan nilai-nilai Islam, sehingga keduanya melebur menjadi identitas baru yang kemudian kita kenal sebagai Islam Nusantara.

Wujud Akulturasi

Salah satu contoh, budaya wayang yang merupakan bagian dari ritual agama politeisme, namun kemudian diubah menjadi sarana dakwah dan pengenalan ajaran monoteisme. Ini suatu kreativitas yang luar biasa, sehingga masyarakat diislamkan melalui jalur ini. Mereka merasa aman dengan Islam, karena hadir tanpa mengancam tradisi, budaya, dan posisi mereka.

Dalam sejarah penyebaran Islam di Jawa, kita tentu sudah tahu bahwa Wali Songo memiliki peran yang cukup besar dalam proses akulturasi Islam dengan budaya Jawa. Mereka menghasilkan karya-karya kebudayaan sebagai media penyebaran Islam.

Untuk memperkenalkan unsur-unsur budaya baru hasil akulturasi Islam dengan budaya Jawa itu, para wali melakukan pengenalan nilai-nilai baru secara persuasif. Dan, terkait dengan persoalan-persoalan yang sensitif, seperti bidang kepercayaan, para wali membiarkan penghormatan terhadap leluhur sebagaimana yang biasa dilakukan oleh masyarakat Jawa.

Salah satu wali yang memiliki andil besar dalam menggagas budaya Jawa dijadikan sebagai media untuk memasukkan elemen-elemen Islam adalah Sunan Kalijaga. Ia dipandang cerdas dalam memadukan nilai-nilai Islam dengan budaya Jawa, sehingga masyarakat Jawa antusias bersimpati terhadap pendekatan dakwah Islam yang dilaksanakan Sunan Kalijaga.

Penetrasi nilai-nilai Islam dalam budaya Jawa secara perlahan-lahan itu juga membuktikan agama Islam tidak disampaikan secara radikal (keras), tetapi dakwah Islam dilaksanakan secara moderat (lunak), penuh kesejukan dan persahabatan, serta secara damai. Di sinilah pribumisasi Islam dapat berjalan dengan halus (simbolis), tanpa menimbulkan gejolak sosial.

Tiga kraton Jawa yang masih berpengaruh sekarang,mulai dari keraton Surakarta ,keraton Jogja ,dan keraton Cirebon masih menyelenggarakan perayaan sekaten selama satu bulan penuh. Perayaan sekaten merupakan perayaan untuk memperingati kelahiran Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam atau juga disebut sebagai Maulid Nabi yang di selenggarakan secara besar besaran dan meriah di alun-alun keraton Jawa.

Melalui perayaan sekaten tersebut pertalian antara nilai-nilai dakwah Islam dengan budaya Jawa bisa ditampilkan . Antroplog Clifford Geertz dalam bukunya yang sangat terkenal The religion of java (1960) mengungkapkan bahwa perayaan sekaten dan Maulid Nabi telah menjadi budaya Jawa tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat Islam. Para wali dan penguasa Jawa konsisten untuk mengedepankan perayaan Maulid yang dikemas dalam perpaduan budaya Jawa dan Islam.

Kemampuan mengawinkan kearifan lokal dan nilai-nilai Islam ini mempertegas bahwa antara agama dan budaya lokal tidak dapat dipisahkan satu sama lain, tapi tentu bisa dibedakan antara keduanya. Hal ini memperlihatkan bahwa Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin mampu beradaptasi dan berdialog dengan budaya lokal, kebiasaan, dan cara berpikir penduduk setempat yang saat itu masih dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu dan Buddha.

Kontributor: Khoirun Nisa
Editor: Muhammad Nashir

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment