Suaramuslim.net – Jujur, semula saya tidak setuju dengan kalimat yang jadi judul tulisan ini. Tanpa dididikpun manusia akan tetap manusia. Namun ketika saya tersesat di dunia pendidikan luar sekolah (PLS), pergaulan secara akademik baik melalui berbagai forum ilmiah dan mengkaji buku-buku PLS dan berdiskusi dengan sahabat yang beraliran konstruktivis terutama dengan mas Isa Ansori dan mas Dr Sakban Rosidi Saminu, saya menjadi yakin seyakin-yakinnya bahwa tanpa pendidikan yang memanusiakan maka manusia akan tetap menjadi hewan yang berbaju dan berkecerdasan manusia, dan malah membuat manusia martabatnya serendah-rendahnya seperti dawuhnya Gusti Allah dalam surah At Tiin ayat 4-5 berikut ini:
لَقَدۡ خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ فِيٓ أَحۡسَنِ تَقۡوِيم ,ثُمَّ رَدَدۡنَٰهُ أَسۡفَلَ سَٰفِلِينَ
Beda manusia dengan hewan itu bisa sangat nyata, atau hampir tidak berbeda, bahkan bisa juga lebih rendah derajatnya dari hewan. Hewan dan manusia sama-sama memiliki akal. Seekor ayam jago akan berpura-pura menemukan makanan, meski itu hanya sebutir batu kecil, dan memanggil si betina agar mendekat dan setelah mendekat.
Bahkan anjing bisa memiliki kecerdasan melebihi manusia, seperti pada saat anjing pelacak menemukan 1,6 ton narkoba yang disembunyikan dengan rapi di balik tumpukan tali menali di kapal.
Seorang anak yang sejak kecil hidup di hutan di India di tengah-tengah masyarakat kera, menunjukkan perilaku makan, berjalan dan bicara seperti kera-kera yang membesarkannya.
Nah, pertanyaannya, apa yang kita inginkan terhadap anak-anak kita nanti?
Ada dua kutub yang diametral dalam mendidik anak. Pertama, adalah menyiapkan anak sejak dini sesuai dengan kondisi dan tantangan yang ada. Saat ini masyarakat lebih memberatkan kehidupan duniawi. Orang yang dipandang berhasil itu kriterianya memiliki pekerjaan, harta dan kedudukan yang tinggi. Siapa yang menang bersaing, dialah yang sukses dalam kehidupan. Karena itu segenap upaya pendidikan diarahkan agar anak siap bersaing memasuki kerja, harta dan kedudukan. Anak harus mampu bersaing untuk mencapai ketiga hal tadi.
Keterampilan berbasis kompetensi kerja diintensifkan, kecerdasan diasah setajam mungkin. Pekerjaan, harta dan kedudukan harus diperoleh, karena itulah tolok ukur keberhasilan hidup, kalau perlu dengan segala cara. Sejak dari sekolah, maka anak dipompakan motivasi untuk menjadi number one, termasuk sekolahnya juga dengan memanipulasi nilai sehingga menjadi sekolah unggulan.
Hasilnya, kita menyaksikan betapa kerasnya persaingan untuk mendapatkan ketiga hal tersebut. Ribuan orang tertipu saat mau masuk PNS/ASN dan bersedia membayar berapapun, sekadar untuk mendapatkan pekerjaan sebagai PNS/ASN yang di mata masyarakat sangat terhormat.
Ratusan ribu manusia juga tertipu oleh investasi bodong yang menghilangkan uang mereka dengan iming-iming keuntungan berlipat ganda dari jalan yang masuk akal dan normal. Tertipu menjadi PNS, tertipu dengan investasi bodong itu sudah berkali-kali terjadi dan tersebar beritanya, namun tidak menjadikan mereka belajar dan sadar.
Perjuangan mendapatkan kedudukan juga sangat mewarnai kehidupan masyarakat kita. Dalam pilkada serentak yang saat ini sedang berlangsung bisa kita saksikan betapa nurani dan akhalqul kharimah sudah hilang. Yang penting bisa mendapatkan kedudukan dengan cara apa saja, membujuk dengan janji-janji setinggi langit, mengerahkan segala daya, membeli suara bahkan kalau perlu menebar fitnah dan memaksa atau menyingkirkan yang menghalangi langkahnya mendapatkan kedudukan.
Perjuangan mempertahankan kekuasaan juga tak kalah hebatnya. Dibuat segala cara agar kekuasaan tetap di tangannya, dengan membentengi diri dan kedudukannya dengan segala macam aturan perundangan yang secara hukum sah. Tentu saja di negara yang menjadikan hukum sebagai panglima ini, dan hukum itu dibuat oleh penguasa, maka menjadikan perundangan itu sah mudah saja. Tidak hanya kedudukan dalam bidang eksekutif namun juga legislatif, dengan menjadikan warga negara yang tidak setuju dan mengkritik adalah perbuatan melawan hukum.
Itulah yang terjadi saat ini, dan itukah yang kita inginkan?
Itulah hasil pendidikan yang menjadikan manusia sebagai homo homini lupus, manusia sebagai hewan yang memangsa hewan lainnya.
Sebenarnya apa sih tujuan kita hidup ini? Hanya sekadar memperoleh pekerjaan, harta dan kedudukan?
Kita lihat banyak orang kaya yang hidupnya merana, kita lihat banyak orang berpangkat dan memiliki kedudukan tinggi berakhir dengan mengenakan seragam orange KPK. Itukah yang kita inginkan?
Atau kita ingin menjadi manusia yang biasa-biasa saja namun merasa bahagia, tidak iri dan dengki kepada orang lain yang tidak sama dengan kita? Bahagia bangun tidur merasa nikmat di tengah keluarga yang saling mencintai?
Belajar dari hal itu, menurut saya ada satu yang kurang, yaitu kita hidup sebagai manusia lengkap dengan hati nurani. Setiap orang memiliki hati nurani, hanya ada yang karena “terpaksa” oleh keadaan mematikan hati nurani dalam dirinya.
Saat menyuap untuk memperoleh pekerjaan atau kedudukan, tahu itu salah dan tidak dibenarkan menurut nurani, namun demi nafsu yang “angsa-angsa” (Jawa) mengabaikan suara hati nuraninya. Saat mengambil keputusan, dia tahu keputusan itu menghianati suara hatinya, namun demi agar tetap menjadi pejabat atau menjadi kompak dengan teman sesama partai atau kelompok, dia bersedia mematikan suara hatinya.
Mari kita laksanakan “revolusi mental” tidak hanya sebagai slogan, namun sebagai gerakan.
Gerakan yang paling strategis adalah di dunia pendidikan. Marilah kita rubah cara mendidikan kita menjadi pendidikan yang mendidik manusia agar menjadi manusia seutuhnya (eallahhh istilah orba yang tetap bermakna meski sudah dilupakan) yang memiliki dan menjadikan hati nurani sebagai basis oleh pikir, olah rasa dan olah perbuatan.
Marilah kita bahagiakan murid kita, guru kita dengan menjadikan dan menghargai mereka sebagai manusia yang seutuhnya dan sewajarnya, yang memiliki hati nurani, yang memiliki bakat, minat, kemampuan bawaan, kehidupan, permasalahan dan kebutuhan yang beragam dan kita layani dengan cara yang beragam pula, karena hati, bakat, minat, rasa kasih sayang yang tulus itu tidak bisa dijadikan seragam.
Dibutuhkan empati yang mendalam dari segenap pembuat kebijakan (sekali lagi bukan pengambil kebijakan yang sekadar ambil) untuk memahami murid dalam konteks keluarga, sekolah dan masyarakatnya, dan untuk memahami guru dengan segala kelebihan dan kelemahannya dan aneka permasalahan hidupnya, sehingga kebijakan yang dibuat bisa menjadikan murid dan guru merasa nyaman dan aman.
Maukah kita…?
Oleh: Kentar Budhojo
*Direktur (DIReken baTUR) Sekolah Garasi
*Ditulis di Turen Malang, 22 Februari 2018
Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net