Suaramuslim.net – Tujuan pendidikan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Sedangkan fungsi pendidikan nasional dalam Undang-Undang no. 20 tahun 2003 pasal 3 menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Ibarat mendirikan sebuah bangunan yang baik, yang sesuai dengan kondisi tanah maupun lingkungan setempat, maka yang bisa menjalankan pekerjaan itu adalah mereka yang ahli dan memahami situasi sebenarnya yang ada di tempat itu. Agar bisa memahami situasi yang ada setidaknya dibutuhkan kemampuan beradaptasi dan berada di tempat itu selama beberapa waktu atau mereka yang sudah lama berada di tempat itu dan mempunyai kemampuan untuk memahami masyarakat dan perilakunya untuk melakukan perubahan.
Pendidikan sejatinya adalah pekerjaan yang berkaitan dengan perubahan perilaku. Perubahan perilaku yang diharapkan adalah perubahan yang berkaitan dengan laku pikir, laku sikap dan laku gerak. Sehingga dengan perilaku pikir, perilaku gerak dan perilaku sikap menghasilkan manusia yang berbudi luhur dan cerdas.
Lalu apakah bisa pembangunan karakter masyarakat Indonesia diserahkan kepada asing yang belum tentu memahami Indonesia? Jawabannya bisa ya dan bisa tidak. Tergantung dari tujuan kita membangun pendidikan. Kalau tujuan pembangunan manusia Indonesia adalah membangun kecerdasan pikir, maka jawabannya bisa ya, tapi kalau tujuan pembangunan Indonesia sebagai mana yang tertera dalam pembukaan UUD 1945 serta yang tertulis dalam UU Sistem Pendidikan Nasional, maka jelas sekali bahwa membangun manusia Indonesia harus diserahkan kepada mereka yang memang mempunyai keteguhan dan keikhlasan menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang kuat dan mandiri. Nah apakah asing mau?
Kebijakan Kementrian Pendidikan yang membolehkan masuknya pendidikan asing di Indonesia sejatinya hanya melanjutkan kebijakan pendidikan sebelumnya dan kebijakan pemerintah secara makro yang menyepakati perjanjian WTO tahun 1996 dan baru berlangsung sekitar tahun 2006. Tahun 2016 adalah sebuah keniscayaan pelaksanaan perjanjian itu secara menyeluruh tanpa syarat. Karena sepuluh tahun sebelumnya 2006 – 2016 pemerintah menjalankan perjanjian WTO dengan syarat.
Sudah siapkah pendidikan Indonesia menyikapi keterbukaan itu? Berbagai fonomena dan tragedi perilaku yang mencerminkan jauhnya nilai-nilai keindonesiaan pada masyarakat, mengindikasikan bahwa pendidikan kita yang dikelola oleh bangsa Indonesia sendiri mengalami kedodoran dalam menjalankan tugas perubahan.
Alih-alih perubahan perilaku, perubahan pikir saja kita mengalami banyak ketertinggalan. Perubahan pikir yang seharusnya berpengaruh pada perubahan perilaku, ternyata tidak begitu nampak dalam kehidupan sosial kita. Bahkan kecenderungannya adalah melahirkan generasi yang instan, hedonis dan asosial.
Tak banyak anak-anak kita yang cepat peduli terhadap persoalan sosial yang ada disekitarnya. Sudah agak sulit kita jumpai nilai-nilai keindonesiaan yang bisa diserap. Murid menghargai guru, yang muda menghormati yang tua, yang tua menghargai yang muda, sesama dalam usia saling menghormati dan mengapresiasi, dan seterusnya.
Mengapa ini bisa terjadi? Kembali pada catatan di atas bahwa tugas perubahan hanya akan bisa dilakukan oleh mereka yang memang bisa dan ahli dalam hal memahami masyarakat dan kebutuhan perubahan yang diinginkan.
Fungsi pendidikan kita juga sudah banyak mengalami perubahan, pendidikan sudah tidak lagi hanya berfungsi sosial, pendidikan juga tak jarang sudah memainkan perannya membangun kasta di masyarakat. Sehingga seringkali kita kenal ada pendidikan untuk masyarakat kelas atas, kelas menengah dan kelas bawah, ada juga yang disebut sebagai sekolah favorit dan sekolah pinggiran. Tentu saja stigma itu merujuk pada siapa yang bersekolah di tempat itu.
Pendidikan asing dan guru asing dengan segala kelebihan dan kekurangannya adalah sebuah keniscayaan di zaman yang serba terbuka ini, tapi persoalannya siapakah yang akan bisa menikmati pendidikan itu dan seberapa besar manfaatnya bagi pembangunan karakter bangsa Indonesia?
Tidak ada makan siang yang gratis, begitu kata pepatah. Sehingga pendidikan asing dan guru asing yang tentu saja tidak murah, akan berupaya mencari keuntungan bagi keberlangsungannya di Indonesia. Nah kalau sudah begitu maka jarak sosial akan kita pelihara untuk menganga dan semakin perih dirasa.
Ada baiknya bagi pemerintah meninjau kembali diperbolehkannya pendidikan asing dan guru asing, karena mereka pasti akan membawa perubahan pada anak-anak kita sesuai dengan kebutuhan mereka, akan sangat sulit diharapkan mereka membawa perubahan sesuai dengan kebutuhan kita. Kalau ini dibiarkan maka bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi kenangan, Indonesia akan menjadi asing dan terasing di masyarakatnya sendiri. Dan itu sudah terjadi, budaya-budaya nusantara sudah semakin tergerus oleh kebudayaan-kebudayaan asing dan pop. Kalau Anda sore-sore berjalan di kompleks Balai Pemuda Surabaya, Anda akan saksikan anak-anak muda dan pelajar kita lebih mengenal budaya pop Korea dan Barat dibanding budaya nusantara dan lokal.
Kalau sudah begitu maka pantaslah kita ucapkan selamat datang asing dan keterasingan.
“Buat apa memerdekakan bangsaku, bila bangsaku hanya tetap jadi budak bagi asing, JANGAN DENGARKEN ASING, JANGAN MAU DICEKOKI KEYNES, INDONESIA UNTUK BANGSA INDONESIA..!!”. (Pidato Bung Karno Tahun 1957 ketika melakukan aksi kedaulatan modal). (Ditulis di Surabaya, 21 Februari 2018)
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net