Sikap Nabi Terhadap Prostitusi

Sikap Nabi Terhadap Prostitusi

Inilah Sikap Nabi Terhadap Prostitusi

Suaramuslim.net – Pada masa jahiliah, prostitusi sudah menjadi tradisi. Dalam hadits riwayat Bukhari, dikatakan bahwa Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah menyebut empat macam pernikahan di ‘zaman kegelapan’ ini yang salah satu di antaranya adalah gambaran jelas dari prostitusi:

يَجْتَمِعُ النَّاسُ اْلكَثِيْرُ وَ يَدْخُلُوْنَ عَلَى اْلمَرْأَةِ لاَ تَمْتَنِعُ مِمَّنْ جَاءَهَا وَ هُنَّ اْلبَغَايَا. يَنْصُبْنَ عَلَى اَبْوَابِهِنَّ الرَّايَاتِ وَ تَكُوْنُ عَلَمًا. فَمَنْ اَرَادَهُنَّ دَخَل عَلَيْهِنَّ

“Banyak laki-laki yang berkumpul, lalu mereka mencampuri seorang wanita yang memang tidak akan menolak setiap laki-laki yang mendatanginya, sebab mereka itu adalah pelacur-pelacur yang memasang bendera-bendera di muka pintu mereka sebagai tanda, siapa saja yang menginginkannya boleh masuk.”

Dr. Raghib Sirjani dalam telaah Sirah Nabawiyah sedikit menjelaskan bahwa bendera-bendera para pelacur pada zaman jahiliah berwarna merah. Bendera itu ditancapkan di depan kemah-kemah mereka sebagai tanda bagi tempat prostitusi. Lelaki hidung belang bisa sesuka hati menikmati jasa pelacuran ini. Uniknya, ketika si pelacur hamil, anak akan dinisbahkan kepada yang paling mirip dengannya melalui bantuan pakar Qafiyah (ahli nasab).

Sebagai catatan penting, para pelacur pada masa itu, seperti yang ditulis Muhammad Abu Syuhbab dalam al-Sîrah ‘ala Dhaui al-Qur`ân wa al-Sunnah (1427: I/94) hanya dijalani oleh para wanita yang notabene dari kalangan budak. Buktinya, pada saat nabi membaiat para wanita pasca Fath Makkah (Pembebasan Mekkah), di antara butir isinya adalah, “dan jangan berzina!” Mendengar bunyi baiat tersebut, Hindun binti ‘Utbah pun bertanya kepada beliau, “Apakah dari kalangan merdeka ada yang berzina?” sebagai respon takjub, karena profesi demikian biasa dilakukan oleh para budak.

Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam tafsir Jâmi’ al-Bayân fî Ta`wîli al-Qur`ân (1420: XIX/98-99) menyebutkan nama-nama pelacur yang terkenal di zaman jahiliah: Ummi Mahzul, Ummi ‘Ulith, Hannah al-Qibthiyah, Mariya, Halalah, Ummu Suwaid, Sarifah, Farasah, dan Qaribah. Semua nama yang disebut ini adalah para budak wanita yang terkenal sebagai wanita tuna susila di zaman jahiliah.

Ketika fajar Islam terbit di tanah Arab, bagaimana sikap Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap tradisi asusila ini? Nabi sendiri sangat tegas dalam bersikap. Secara hukum perbuatan zina, apalagi dijadikan profesi, baik menurut Al Quran maupun hadits hukumnya haram (seperti: QS. Al-Isra [17]: 32 dan An-Nur [24]: 2). Perbuatan ini dalam Islam disebut keji dan merupakan kemungkaran yang tidak boleh dibiarkan dan harus ditindak tegas.

Beliau pun sering mengigatkan, mensosialisasikan baik dalam momen baiat sahabat wanita, maupun kesempatan lainnya. Hanya saja, dalam upaya untuk mengatasi penyakit sosial tersebut, beliau sangat bijaksana, tidak ditindak secara radikal, atau sekali jadi. Sikap ini memang tidak bisa dilepas dari konteks umat Islam yang waktu itu masih lemah dan belum memiliki wewenang untuk menindaknya.

Sebagai bukti, selama tiga belas tahun di Makkah, meski beberapa kemah prostitusi bertebaran di Makkah, tidak ada satu pun riwayat yang menunjukkan bahwa beliau pernah merusak tempat amoral tersebut. Jangankan masalah prostitusi, sebelum Fathu Makkah, tiga ratus lebih patung yang ada di Ka’bah tidak dihancurkan, walaupun beliau sedang melakukan umrah qadha. Ini karena situasi dan kondisi belum memungkinkan.

Berbeda ketika di Madinah. Pada waktu umat Islam memiliki kesempatan dan kuasa, maka Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam dengan tegas menindaknya. Sebagai contoh perempuan Ghamidiyah yang telah jelas melakukan zina maka ditegakkanlah hukum rajam kepadanya. Ini bagi pelaku zina, apa lagi yang menjadikan pelacur sebagai profesi. Yang perlu digaris bawahi pada kasus penegakan hukum zina pada wanita ini atau kasus zina yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya dengan bijaksana, bahkan memberi kesempatan si wanita untuk melahirkan hingga menyapih anaknya, seandainya wanita itu tidak mengaku, bisa jadi hukuman itu tidak diberlakukan.

Kata-kata Aisyah berikut sangat jelas menunjukkan bahwa saat Islam datang (tentunya dalam konteks ketika berkuasa atau melalui otoritas negara), tradisi buruk ini dihapuskan:

فَلَمَّا بَعَثَ اللهُ مُحَمَّدًا ص بِاْلحَقِّ هَدَمَ نِكَاحَ اْلجَاهِلِيَّةِ كُلَّهُ اِلاَّ نِكَاحَ النَّاسِ اْليَوْمَ

“Kemudian setelah Allah mengutus nabi Muhammad SAW sebagai Rasul dengan jalan haq [benar], beliau menghapus pernikahan model jahiliyah tersebut keseluruhannya, kecuali pernikahan sebagaimana yang berjalan sekarang ini.” (HR. Bukhari, Abu Daud)

Kata “menghapus” di sini bukan saja larangan secara verbal, tapi juga upaya konkret untuk melenyapkan prostitusi. Dari paparan tersebut, terlihat jelas bagaimana sikap nabi terhadap prostitusi:

Pertama, mensosialisasikan keharamannya dan kekejiannya.

Kedua, dalam melenyapkan tradisi buruk ini dilakukan dengan cara bijaksana, bertahap, dan dalam kapasitas diri beliau sebagai kepala negara yang memiliki otoritas kekuasaan. Meski ini adalah bagian dari kemungkaran yang harus dicegah, tidak semua orang memiliki wewenang untuk menindak.

Ketiga, jika proses secara bijaksana dan bertahap tidak diindahkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam secara tegas akan menindaknya. Wallahu a’lam.

Kontributor: Mahmud Budi Setiawan, Lc*
Editor: Oki Aryono

*Tim Konten AQL Islamic Center (ustadz Bahtiar Nasir), alumnus Universitas Al Azhar Mesir

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment